Berdasarkan deskripsi masalah pada artikel sebelumnya, maka didapatkan alternatif-alternatif kebijakan
pendidikan sebagai berikut.
1. Peningkatan koordinasi antarinstansi dan antarunit dalam
berbagai tingkatan dalam penanganan wabah diare yang dilakukan oleh Menko
Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota, Menteri Pendidikan, dan Kepala Dinas
Pendidikan melalui Puskesmas dan Sekolah.
2. Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi
pelaksanaan program penaganan kasus diare antara pusat dan daerah yang mencakup
aspek perencanaaan, pelaksanaan (monitoring),
serta pelaporan (evaluasi).
3. Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program
oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan
profesionalisme pengelola program di daerah, artinya penanganan kasus diare
dapat dilimpahkan ke Puskesmas dan bekerja sama dengan sekolah setempat.
4. Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit
terdepan dalam penanggulangan kasus diare, melalui:
a. Peningkatan dukungan dana
yang memadai dari APBN maupun APBD dalam mendukung program penanggulangan diare;
b. Penyempurnaan SOP sesuai “local
specific” yang diintegrasikan dengan kebijakan sekolah;
c. Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data,
analisis, validasi dan pengembangan “respond
system”, dan sistem kewaspadaan dini (Early
Warning System) dengan pemantauan melalui sekolah;
d. Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana sekolah dengan melibatkan
peran aktif instansi kesehatan dan masyarakat setempat,
5. Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui
intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi dengan
instansi pendidikan;
6. Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan
pencegahan dan penanggulangan faktor risiko kasus diare melalui penyegaran UKS
dan atau dokter kecil
7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan
dan penanggulangan faktor resiko kasus diare di sekolah secara intensif;
8. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja
informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko
kasus diare dengan sekolah baik sekolah negeri maupun swasta;
9. Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi
dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE)
pencegahan dan pemberantasan penyakit yang diintegrasikan dengan kebijakan
sekolah
10. Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam
meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan
penanggulangan diare di instansi pendidikan;
11. Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan
lingkungan secara terintegrasi dengan kebijakan sekolah yang berbasis wilayah
kabupaten/kota dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan
kerjasama erat baik antarwilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara
para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu
sendiri dalam satu wilayah dengan instansi pendidikan.
Alternatif-alternatif
kebijakan pendidikan tersebut juga tidak terlepas dari adanya dampak kebijakan
pendidikan itu sendiri. Hasil analisis dampak dari alternatif-alternatif
kebijakan tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut.
1. Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan
khususnya kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas
perlu diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang
bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan
pendanaan serta tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional
pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai
peran dimaksud secara memadai. Selain itu, Puskesmas diharuskan untuk mampu
menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah setempat dan mengiintegrasikan
program penaggulangan diare dengan sekolah. Sekolah juga harus mampu secara
aktif mengkaji program-program Puskesmas dalam rangka meningkatkan kesehatan
masyarakat untuk diintegrasikan dengan kebijakan sekolah.
2. Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem
jaminan kesehatan misalnya melalui kartu sehat sekolah sehingga kepastian dana
kepada anak-anak sekolah terjamin, sekaligus menjamin setiap siswa terlayani
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama penanggulangan diare. Maka dari
itu diperlukan pengeloaan dana baik dari APBN maupun APBD dalam mendukung
program penanggulangan diare di sekolah.
3. Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional
dan berkesinambungan dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah
diaplikasikan serta dimungkinkan adanya Pusat Informasi Penanaganan Diare (Diare Center) di sekolah. Keberadaan
data dan informasi yang akurat dan berkesinambungan menjadi salah satu
indikator kinerja pembangunan kesehatan. Tentu saja hal ini harus didukung
dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai di setiap wilayah.
4. Ketenagaan, motivasi dan komitmen para pelaksana
pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan
perlu ditingkatkan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan
dukungan eksternal dalam bentuk insentif. Baik ketenagaan di Puskemas, maupun
sekolah diperlukan peningkatan motivasi dan komitmen dalam membangun kerja
sama. Masing-masing instansi harus secara aktif mengembangkan kerja sama. Hal
ini akan berdampak pada pengelolaan administrasi yang lebih kompleks, maka dari
itu masing-masing instansi perlu komitmen ketenagaan yang kuat.
5. SOP, dibuat sesederhana mungkin
dan dapat diinterasikan dengan kebijakan sekolah agar memudahkan pelaksanaan
operasional tenaga lapangan di sekolah dan distribusikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar