Selasa, 23 Februari 2016

Policy Alternative and Impact for Diarrhea Case Health-Quantitative Data in Sleman Yogyakarta Special District Indonesia ( Alternatif dan Dampak Kebijakan Data Kuantitatif Kesehatan Kasus Diare Kabupaten Sleman)

Berdasarkan deskripsi masalah pada artikel sebelumnya, maka didapatkan alternatif-alternatif kebijakan pendidikan sebagai berikut.
1.  Peningkatan koordinasi antarinstansi dan antarunit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah diare yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota, Menteri Pendidikan, dan Kepala Dinas Pendidikan melalui Puskesmas dan Sekolah.
2.  Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program penaganan kasus diare antara pusat dan daerah yang mencakup aspek perencanaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi).
3.   Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, artinya penanganan kasus diare dapat dilimpahkan ke Puskesmas dan bekerja sama dengan sekolah setempat.
4. Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam penanggulangan kasus diare, melalui:
a.  Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun APBD dalam mendukung program penanggulangan diare;
b.   Penyempurnaan SOP sesuai “local specific” yang diintegrasikan dengan kebijakan sekolah;
c.    Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis, validasi dan pengembangan “respond system”, dan sistem kewaspadaan dini (Early Warning System) dengan pemantauan melalui sekolah;
d.    Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana sekolah dengan melibatkan peran aktif instansi kesehatan dan masyarakat setempat,
5.   Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi dengan instansi pendidikan;
6.   Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko kasus diare melalui penyegaran UKS dan atau dokter kecil
7. Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko kasus diare di sekolah secara intensif;
8.    Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko kasus diare dengan sekolah baik sekolah negeri maupun swasta;
9.    Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit yang diintegrasikan dengan kebijakan sekolah
10.  Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan diare di instansi pendidikan;
11.  Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi dengan kebijakan sekolah yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antarwilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah dengan instansi pendidikan.
Alternatif-alternatif kebijakan pendidikan tersebut juga tidak terlepas dari adanya dampak kebijakan pendidikan itu sendiri. Hasil analisis dampak dari alternatif-alternatif kebijakan tersebut mencakup aspek-aspek sebagai berikut.
1. Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. Selain itu, Puskesmas diharuskan untuk mampu menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah setempat dan mengiintegrasikan program penaggulangan diare dengan sekolah. Sekolah juga harus mampu secara aktif mengkaji program-program Puskesmas dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat untuk diintegrasikan dengan kebijakan sekolah.
2.   Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan misalnya melalui kartu sehat sekolah sehingga kepastian dana kepada anak-anak sekolah terjamin, sekaligus menjamin setiap siswa terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan terutama penanggulangan diare. Maka dari itu diperlukan pengeloaan dana baik dari APBN maupun APBD dalam mendukung program penanggulangan diare di sekolah.
3.   Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkan adanya Pusat Informasi Penanaganan Diare (Diare Center) di sekolah. Keberadaan data dan informasi yang akurat dan berkesinambungan menjadi salah satu indikator kinerja pembangunan kesehatan. Tentu saja hal ini harus didukung dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai di setiap wilayah.
4.     Ketenagaan, motivasi dan komitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan perlu ditingkatkan. Motivasi dan komitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif. Baik ketenagaan di Puskemas, maupun sekolah diperlukan peningkatan motivasi dan komitmen dalam membangun kerja sama. Masing-masing instansi harus secara aktif mengembangkan kerja sama. Hal ini akan berdampak pada pengelolaan administrasi yang lebih kompleks, maka dari itu masing-masing instansi perlu komitmen ketenagaan yang kuat. 
5.   SOP, dibuat sesederhana mungkin dan dapat diinterasikan dengan kebijakan sekolah agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan di sekolah dan distribusikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar